Rabu, 04 Desember 2013

Indonesia di dalam Krisis Ekonomi Global


Sementara indikator ekonomi tampak menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam jalur pemulihan setelah terpukul oleh krisis finansial global 2008/2009, pemulihan ini dibangun di atas pondasi yang lemah. Negara-negara kapitalis besar sedang mengalami pemulihan tanpa penciptaan lapangan kerja, dan beberapa negara telah masuk ke krisis yang baru. Baru-baru ini Yunani jauh ke sebuah krisis yang menggoncang ekonomi dunia kendati harapan para ekonom borjuis bahwa krisis di Yunani, sebuah negeri yang kecil. tidak akan mempengaruhi ekonomi global. Pada awal krisis Yunani, pemerintah Indonesia sangat yakin bahwa ekonominya tidak akan terpengaruh. Namun, dari tanggal 30 April hingga 24 Mei, Indeks Harga Saham Gabungan jatuh dari 2971 hingga 2514, merosot lebih dari 15% dalam 3 minggu.
Pemerintah Yunani telah dipaksa mengimplementasikan sebuah kebijakan penghematan, memangkas anggaran mereka sebesar 30 milyar euro dalam 3 tahun. Kaum pekerja dipaksa membayar untuk krisis kapitalisme. Spanyol, Portugal, Irlandia, Italia, dan Inggris – yang ekonominya lebih besar daripada Yunani – ada di situasi yang sama. Pada tanggal 29 Mei, Spanyol menyusul langkah Yunani, menyetujui rencana penghematan yang akan memangkas 15 milyar euro termasuk pemotongan gaji pegawai negeri. Ini di atas 50 milyar euro paket pengetatan yang sudah diumumkan sebelumnya pada bulan Januari. Pemerintahan koalisi Cameron-Clegg yang baru, pada 24 Mei, hanya dua minggu setelah berkuasa, telah mengambil langkah pertamanya untuk menyerang kaum buruh dengan mengumumkan pemotongan sebesar 6 milyar poundsterling. Pada tanggal 26 Mei, pemerintahan Italia di bawah Berlusconi mengungkapkan sebuah rencana untuk memangkas 24,9 milyar euro dari anggaran negara mereka, yang termasuk tiga tahun pembekuan gaji untuk pegawai negeri. Pada tanggal 13 Mei, pemerintahan Portugis mengumumkan kenaikan pajak dan pemotongan anggaran. Semua kebijakan penghematan ini telah direspon dengan demonstrasi-demonstrasi, tetapi tidak ada yang sebesar yang kita saksikan di Yunani.

Ekonomi dunia sedang perlahan-lahan bangkit dari krisis ekonomi terbesar semenjak 1930an. Akan tetapi, tidak akan ada pengembalian ke “normalitas”. Krisis ini menandai berakhirnya sebuah epos; secara ekonomi ia menandai akhir dari epos negara-kesejahteraan dan secara politik ia menandai akhir dari epos “akhir sejarah”nya Francis Fukuyama. Seperti yang ditunjukkan oleh gambaran di atas, kita sedang memasuki sebuah era penghematan. Sebuah depresi besar dari resesi 2008/2009 telah dihindari dengan bail-out yang tidak ada presedennya, yang diestimasikan sebesar US$ 14 trilyun. John Hawkswoth, kepala makroekonomi PricewaterhouseCoopers, menjelaskan: “Kita telah selamat dari shok ekonomi besar ini dengan melemparkan uang ke dalamnya. Tetapi siapa yang bilang kalau dalam 10 tahun ini tidak akan terjadi lagi? Jadi kita harus merencanakan untuk kembali ke surplus supaya kita punya uang untuk dilempar lagi.”

IMF menunjukkan bahwa pemerintahan seluruh dunia telah menambahkan, secara rata-rata, beban hutang sebesar 20% PDB, dan akan diproyeksikan menambah 20% lagi hingga tahun 2015. Saran IMF kepada negara-negara G20 adalah pemangkasan besar dalam pengeluaran sebesar 8,7% PDB.
Secara ekonomi ini berarti akan ada sebuah periode pemulihan tanpa penciptaan lapangan kerja, dengan permintaan yang lebih rendah. Walaupun ekonomi Indonesia tidak tergantung pada ekspor sebesar negara-negara Asia lainnya, kemerosotan yang lama dalam permintaan ekspor akan menghancurkan industri domestik Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah mencoba mengatasi penurunan permintaan ekspor ini melalui perjanjian-perjanjian pasar bebas seperti ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) dan AIFTA (ASEAN-India Free Trade Area). Akan tetapi, harapan mereka akan hancur dengan segera. Pasar ekspor Tiongkok dan India juga terpangkas akibat krisis, karena permintaan dari Amerika Utara dan Eropa menurun, oleh karena itu mereka mencari pasar baru untuk ekspor mereka. Karena ekonominya yang lebih lemah, Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan produk-produk dari Tiongkok dan India.

Kapitalisme telah menciptakan sebuah kontradiksi yang tidak dapat dipecahkan; di satu pihak adalah kontradiksi antara kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan karakter sosial dari produksi itu sendiri; di pihak lain adalah kontradiksi antara negara-bangsa dan karakter internasional dari ekonomi. Pasar bebas dan proteksionisme, yang diimplementasikan dengan derajat-derajat yang berbeda oleh banyak negara tergantung dari korelasi kekuatan ekonomi dari negara-negara tersebut, adalah metode-metode yang digunakan oleh kapitalis untuk mengatasi kontradiksi ini. Di kasus yang ekstrim, mereka menggunakan langkah militer: dua perang dunia dan banyak perang “kecil” dalam satu abad terakhir.

Yang dibutuhkan adalah pertukaran bebas hasil-hasil kerja rakyat yang dilaksanakan untuk kepentingan buruh dan tani, dan bukan kepentingan laba kapital swasta, dan ini hanya bisa dicapai bila alat-alat produksi dan distribusi disita dari tangan kapitalis dan ditaruh di bawah kontrol demokratis buruh dan tani. Negara-negara sosialis lalu dapat secara demokratis dan sukarela berdagang dengan satu sama lain bukan dengan maksud untuk menaklukkan pasar masing-masing dan memeras laba untuk kapital, tetapi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Kaum sosialis harus mulai dari tuntutan menentang perjanjian-perjanjian pasar bebas (ACFTA, AIFTA, dll.) karena ini adalah reaksi wajar dari buruh dan tani yang melihat bahwa perjanjian-perjanjian ini akan merugikan kehidupan mereka. Namun, dari tuntutan “minimum” ini kita harus menghubungkannya ke sebuah perspektif sosialis, ke masalah kekuasaan. Kita tolak perdagangan bebas kapitalis, dan kita juga tolak proteksionisme kapitalis. Rejim kapitalis SBY tidak dapat dipercayai untuk mengatasi krisis ekonomi sekarang, seperti yang sudah kita lihat bagaiman pemerintahan “Reformasi” mengatasi krisis ekonomi 1997/1998 dengan melelang perusahaan milik negara dan meningkatkan eksploitasi, yakni dengan memaksa buruh dan tani untuk membayar krisis ini. Satu-satunya solusi adalah buruh Indonesia harus merebut kekuasaan di bawah program sosialis, dan membentuk Federasi Sosialis Asia Tenggara, membangkitkan kembali tuntutan Tan Malaka untuk pembentukan ASLIA Gabungan (Asia-Australia).

Krisis dan Kesadaran Massa

Sebuah krisis ekonomi dapat memiliki efek demoralisasi, dan ini yang sedang kita saksikan secara umum. Sekarang kita tidak melihat adanya mobilisasi dan radikalisasi masif sedunia setelah resesi yang baru-baru ini. Ini karena siklus ekonomi dan kesadaran tidak memiliki hubungan proporsional yang otomatis. Ini serupa dengan Depresi Hebat 1929 yang memaksa massa buruh untuk menundukkan kepala mereka dan bukannya menjadi radikal. Hanya pada tahun 1934 buruh mulai bergerak.

Ditambahkan di sini adalah beban sejarah yang telah diderita oleh kelas buruh dunia: kemandegan reformisme untuk seluruh generasi semenjak boom ekonomi paska-perang-dunia dan jatuhnya Uni Soviet yang disertai dengan ofensif ideologis kapitalis. Ini telah menciptakan sebuah periode yang dipenuhi dengan kebingungan dan kemunduran ideologis. Ide-ide asing merasuki gerakan buruh. Pesimisme dan sinisme menjadi dominan dimana banyak orang meninggalkan gerakan sama sekali, dan menyerahkan gerakan ke tangan kaum reformis dan pengejar karir seperti Tony Blair di Inggris.
Selama periode yang sangat sulit ini, Internastionale kita berdiri teguh; membela panji Marxisme dan kebijakan kelas revolusioner ketika semua orang mencampakkannya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi telah membuktikan kalau kita benar. Kita sedang hidup di sebuah periode yang bergejolak, secara ekonomi dan politik. Periode ini menggoncang kesadaran kelas buruh yang telah terbebani ilusi reformisme dan pesimisme di masa lalu. Namun, yang lebih penting, periode ini sedang menciptakan sebuah generasi buruh muda yang baru, yang sepenuhnya bebas dari ilusi reformis. Periode penghematan yang baru ini akan menciptakan untuk pertama kalinya dalam sejarah kapitalisme sebuah generasi muda baru yang taraf hidupnya tidak akan lebih baik daripada orang tua mereka. Akan ada sebuah generasi baru yang akan dibesarkan di sebuah periode penuh dengan gejolak, peperangan, revolusi dan konter-revolusi di seluruh dunia. Di Indonesia juga, sebuah generasi baru sedang muncul, sebuah generasi yang tidak pernah hidup di bawah periode reaksi Soeharto, yang tidak pernah menyaksikan kegagalan “Reformasi”, dan sekarang sedang menyaksikan kegagalan kapitalisme di seluruh penjuru dunia.

Secara ekonomi, dalam artian sejarah yang luas, situasi objektif untuk sosialisme sudah matang dan dewasa. Namun, yang kurang sekarang adalah sebuah kepemimpinan revolusioner dengan gagasan yang tepat. Dalam setengah abad yang lalu, kepemimpinan gerakan ada di tangan kaum reformis dan Stalinis – yang belakangan ini sebenarnya hanyalah kaum reformis dengan frase-frase revolusioner. Di periode mendatang, kepemimpinan gerakan kemungkinan besar masih akan jatuh di tangan kaum reformis karena kekuatan Marxisme masihlah terlalu kecil. Namun, rakyat akan belajar melalui pengalaman jalan buntu reformisme, dan akan mendorong pemimpin mereka jauh ke kiri atau menggantikan para pemimpin ini. Selama periode ini, ide-ide Marxisme akan mulai mendapatkan gaung. Ini akan menjadi sebuah proses yang berkepanjangan – bukan dalam hitungan bulan, tetapi mungkin tahun atau dekade – dipenuhi dengan loncatan-loncatan, tetapi arahnya jelas. Lapisan buruh dan kaum muda yang paling maju akan menemukan diri mereka bergerak ke Marxisme revolusioner.
Kaum Borjuis Nasional Progresif

Sejarah Indonesia (lihat Lampiran “Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia”) telah menunjukkan bahwa semenjak abad ke-16 perkembangan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia telah terhubungkan dengan kelahiran dan perkembangan kapitalisme. Karena inilah perkembangan kelas di Indonesia tidak pernah mengikuti perkembangan kelas “klasik” seperti di negara-negara kapitalis maju. Bahkan feodalisme Indonesia sudah terpengaruh oleh kekuasaan Belanda karena kekuasaan kolonial menundukkan para pemimpin feodal ke lutut mereka dan lalu menggunakan mereka sebagai agen penguasa lokal, mengikat mereka ke imperialisme.

Bagaimana dengan borjuasi nasional? Kaum borjuasi nasional datang terlalu terlambat di dalam sejarah Indonesia, dan mereka lahir di bawah tekanan imperialisme, yang tidak membuat mereka lebih progresif sama sekali tetapi justru tunduk pada imperialisme dan kapital asing.

Kita cukup melihat bagaimana gerakan nasionalis Indonesia lahir pada awal abad ke 20. Gerakan nasionalis Indonesia awalnya dipimpin oleh kaum intelektual yang bersandar pada kaum tani dan proletariat yang baru muncul (terutama buruh perkebunan, buruh kereta api, dan kasir pelelangan). Kaum borjuasi Indonesia tidaklah eksis di gerakan nasionalis dari awalnya. Embrio borjuasi Indonesia, yakni para pedagang kecil, membentuk Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911. Tetapi tujuan awalnya adalah untuk membela kepentingan pedagang batik Jawa dari persaingan yang meningkat dari pedagang Cina, dan bukan untuk memajukan pembebasan rakyat Hindia Timur dari kekuasaan Belanda. Dalam waktu setahun organisasi ini menangkap imajinasi popular rakyat tani miskin dan buruh Indonesia, yang masuk ke organisasi ini dalam jumlah ribuan dan membanjiri basis pedagang organisasi ini. Pada tahun 1912, SDI melepaskan nama komersialnya – dan secara efektif basis pedagangnya – untuk menjadi Sarekat Islam, gerakan massa politik pertama di Indonesia yang lalu menjadi basis massa gerakan nasionalis Indonesia. Satu-satunya partai yang signifikan secara serius adalah Partai Komunis Indonesia. Jadi sementara SI adalah basis massa pertama gerakan nasionalis Indonesia, PKI adalah satu-satunya partai yang menyediakan gerakan nasionalis Indonesia ini dengan sebuah ekspresi politik yang jelas.

Jatuhnya SI dan PKI pada tahun 1927 membuka panggung kepada elemen-elemen nasionalis-borjuis untuk mendominasi gerakan, walaupun ini adalah periode semi-reaksi dimana gerakan nasionalis terlempar ke belakang. Akan tetapi, tetap belum ada kelas borjuasi di Indonesia. Yang ada adalah kaum intelektual dengan ideologi nasionalis borjuis tetapi tanpa kelas borjuis pribumi untuk bersandar.

Perjuangan kemerdekaan 1945-1949 menunjukkan sekali lagi karakter reaksioner dari para pemimpin nasionalis-borjuis ini. Mereka siap membiarkan Indonesia di bawah kekuasaan kerajaan Belanda dan kekuasaan ekonomi imperialis. Program 100% Merdeka dikhianati oleh orang-orang seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, yang ditandai dengan perjanjian Hague pada tahun 1949.

Kelas borjuasi mulai mengkristal setelah periode topan badai 1945-49. Lahir terlalu terlambat, borjuasi Indonesia terlalu lemah untuk memainkan peran apapun – apalagi peran progresif, dan ketika mereka memainkan sebuah peran mereka justru mendukung Soeharto dan kapital asing di belakangnya dalam pembantaian berdarah jutaan rakyat Indonesia. PKI membayar harga yang mahal untuk kebijakan dua-tahap mereka yang keliru, dimana mereka menundukkan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, dan oleh karenanya mencari aliansi dengan kaum borjuis nasional “progresif”. Masalahnya, tidak ada kelas borjuasi progresif, bahkan bayangannya pun tidak ada. Aliansi dengan kaum borjuasi berarti penundukan program kelas pekerja terhadap kepentingan kapitalis, menunda perebutan kekuasaan oleh buruh, dan secara efektif melucuti mereka. Ketika para jendral reaksioner memukul, tidak ada satupun elemen dari borjuasi nasional ini yang maju membela PKI dan menghentikan pembantaian buruh dan tani miskin.

Dalam 32 tahun di bawah kediktaturan militer Soeharto, borjuasi nasional Indonesia tidak pernah mengangkat barang satu jaripun untuk mempertahankan demokrasi “parlementer borjuasi”, yang seharusnya menjadi tugas mendasar klasik dari kaum borjuasi. Mereka justru ikut serta dalam kediktaturan ini. Secara politik mereka impoten dan tentaralah yang harus menjalankan pemerintahan. Secara ekonomi mereka terikat pada kapital asing, dan bila mereka menggonggong terhadap kapital asing ini hanya untuk mendapatkan kue eksploitasi yang lebih besar, bukan karena aspirasi sejati untuk membebaskan rakyat dari imperialisme seperti yang beberapa orang di Kiri ingin berpikir.

Sampai sekarang, kita masih menunggu kehadiran dari kaum borjuasi nasional progresif di Indonesia. Beberapa orang di Kiri mencoba mencari kelas ini di dalam sosok-sosok Rizal Ramli, Prabowo, dan orang-orang seperti mereka yang menggunakan retorika-retorika nasionalis. Tidak lama yang lalu harapan yang serupa ditaruh di pundak Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur, yang lalu mengkhianati harapan ini dan mendapati julukan “reformis gadungan”. Akan tetapi, tidak ada yang namanya reformis gadungan. Semua kaum reformis-borjuis ini melakukan apa yang menjadi tugas historis mereka: menyelamatkan kapitalisme di saat-saat yang paling genting.

Masalah Kebangsaan 
Masalah kebangsaan masih merupakan sebuah isu utama. Secara historis, pembentukan sebuah negara-bangsa yang tersatukan adalah tugas dari kelas borjuasi. Di Indonesia, negara-bangsa diciptakan melalui perjuangan melawan Belanda. Akan tetapi, di bawah kerangka kapitalisme, negara-bangsa tertekan dengan sangat besar. Persatuan sukarela dari semua kelompok-kelompok nasional dan suku bangsa menjadi kebalikannya: persatuan yang dipaksakan untuk eksploitasi ekonomi di bawah slogan “Bhinneka Tunggal Ika”. Daerah-daerah di luar Jawa dirampas sumber dayanya dan trilyunan rupiah ditransfer ke Jakarta, pusat kekuasaan kapitalis. Kemiskinan adalah 10 kali lebih tinggi di luar Jakarta. Dari angka resmi tahun 1990, tingkat kemiskinan Jakarta adalah 1,3% sedangkan di NTT adalah 45,6%, NTB 27,6%, Papua Barat 12,6%, dst.[1] Setiap kekecewaan dengan cepat dihancurkan dengan kekuatan bayonet. Bukan hanya eksploitasi ekonomi, kita juga melihat represi kebudayaan dan bahasa, dimana ratusan suku bangsa dipaksa berasimilisasi ke nasionalisme Indonesia dan kebudayaan mereka hanya menjadi atraksi turis dan pajangan steril di TMII.
Indonesia telah menjadi sebuah rumah penjara bagi kelompok-kelompok nasional. Kesatuan Indonesia ada di bawah ancaman yang riil dengan prospek untuk berubah menjadi Balkan baru. Kaum borjuasi telah gagal untuk mempertahankan kesatuan Indonesia. Ia telah gagal memenuhi tugas utama dari revolusi borjuis demokratik.
Kesatuan yang datang dari perjuangan melawan Belanda telah dihabiskan oleh kapitalisme. Inilah titik tolak kita. Di beberapa propinsi, aspirasi pembebasan nasional di antara rakyat pekerja telah menjadi sebuah realitas, terutama di Aceh dan Papua. Kita menentang segala macam penindasan terhadap kelompok-kelompok nasional, budaya, bahasa, dan agama. Kita berdiri dengan solidaritas penuh untuk kelompok-kelompok nasional yang tertindas dalam perjuangan mereka untuk membebaskan diri dari rumah penjara Indonesia. Secara konkrit ini berarti kita mendukung tanpa syarat hak demokratis dari kelompok-kelompok nasional tertindas untuk menentukan nasib mereka sendiri, termasuk sampai hak memisahkan diri.
Akan tetapi kita berdiri dengan jelas untuk kebijakan kelas. Ini berarti bahwa adalah tugas kita untuk memberitahukan kepada saudara-saudari kita di Aceh dan Papua bahwa sekutu sejati mereka adalah kelas pekerja Indonesia. Kelas borjuasi di Aceh dan Papua tidak bisa dipercayai dan diandalkan untuk memimpin gerakan pembebasan nasional. Ketika para pemimpin borjuis Aceh dan Papua berbicara mengenai kemerdekaan dari Jakarta, mereka hanya berharap untuk dapat mengeksploitasi rakyat mereka sendiri tanpa campur tangan dari Jakarta, mereka hanya ingin kue eksploitasi yang lebih besar.
Satu-satunya cara untuk memenangkan kepercayaan kamerad-kamerad tertindas kita, untuk memotong masalah kebangsaan dengan garis kelas, adalah dengan mengatakan kepada mereka bahwa kita mendukung hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, bahkan hak untuk berpisah, bahwa kita akan berjuang untuk membentuk sebuah pemerintahan buruh yang akan memberikan mereka hak penuh untuk menentukan nasib sendiri. Dengan posisi ini, kita mengatakan kepada kamerad-kamerad kita di Aceh dan Papua bahwa buruh Indonesia tidak punya kepentingan untuk menindas mereka.
Pengalaman Timur Leste adalah sebuah bukti bahwa pembebasan yang sejati tidak dapat dicapai di bawah kapitalisme, dan bahwa pembebasan sejati dari kelompok-kelompok nasional di Indonesia terikat dengan perjuangan untuk sosialisme di Indonesia. Sudah lebih dari 10 tahun setelah kemerdekaan, populasi Timor Leste masih di antara yang termiskin di dunia. Ia telah menjadi sumber intrik antara kekuatan-kekuatan imperialis (Australia, Portugal, Tiongkok, AS, dan lainnya) untuk akses ke cadangan gas dan minyaknya yang besar dan sedang menghadapi represi yang semakin besar dari “pemerintahan nasional”nya sendiri. Tanpa perubahan sistem politik di Indonesia, propinsi-propinsi yang terbebaskan masih akan ada di bawah dominasi ekonomi dan politik dari imperialisme Indonesia. Satu-satunya jalan ke depan adalah pembentukan sebuah persatuan sukarela dari Federasi Sosialis Indonesia, sebagai satu langkah menuju Federasi Sosialis Asia Tenggara dan Federasi 
Sosialis Dunia.
Sosialisme satu-satunya jalan 
Kaum borjuis dan nasionalis Indonesia telah membuktikan diri mereka tidak mampu memajukan masyarakat. Mereka bahkan tidak bisa memenuhi tugas-tugas revolusi borjuis demokratik: reforma agraria, kemerdekaan nasional sejati, dan demokrasi. 65 tahun telah berlalu sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan tidak satupun dari tugas ini yang telah terselesaikan.
Masalah tanah untuk kaum tani masih merupakan masalah yang mendesak. Kaum borjuasi sekarang, karena posisi ekonominya, tidak dapat diharapkan untuk melaksanakan reforma agraria. Sementara di masa lalu kaum borjuasi punya kepentingan untuk menghancurkan feodalisme dengan menyita tanah mereka dan membagikannya ke para petani, kaum borjuasi Indonesia sering adalah pemilik tanah juga.
Tugas pembebasan nasional dari imperialisme juga adalah sesuatu yang tidak dapat diselesaikan oleh kelas borjuasi Indonesia. Mereka terlalu tergantung pada kapital asing. Semenjak kelahiran mereka, mereka telah bahagia menjadi pesuruh imperialisme. Kadang-kadang kaum borjuasi ini menggeliat dan menggonggong karena mereka merasa mereka patut mendapatkan kue penjarahan yang lebih besar, mengendarai kekecewaan rakyat untuk menggunakannya sebagai sebuah pentungan melawan tuan asing mereka. Secara politik impoten, kaum borjuasi nasional hanya dapat bersandar pada kekuatan rakyat pekerja; akan tetapi rasa takut mereka terhadap kebangkitan buruh dan tani adalah lebih besar daripada aspirasi mereka untuk kemerdekaan. Setelah mereka mendapatkan konsesi dari tuan mereka, mereka segera meletakkan retorika-retorika nasionalis dan tujuan mereka.
Dalam masalah demokrasi, catatan sejarah kaum kapitalis Indonesia berbicara sendiri: 32 tahun kebungkaman – dan bahkan partisipasi aktif – ketika hak-hak demokrasi dasar diinjak-injak oleh Soeharto. Hak-hak demokrasi dasar seperti di negera-negara kapitalis maju masih jauh dari jangkauan bahkan setelah Reformasi 1998.
Dari sinilah kita mendefinisikan watak dari revolusi yang akan datang di Indonesia. Tugas-tugas borjuis demokratis yang belum selesai berarti bahwa revolusi selanjutnya di Indonesia adalah berkarakter borjuis demokratis, dalam arti bahwa ia harus menyelesaikan tugas-tugas historis dari revolusi borjuis: reforma agraria, demokrasi, dan pembebasan nasional dari imperialisme. Masalahnya kita tidak punya kelas borjuasi yang bisa melaksanakan tugas-tugas ini. Maka dari itu kelas buruh adalah satu-satunya kelas yang dapat menghantarkan revolusi borjuis demokratis ini. Akan tetapi, kelas buruh, setelah berkuasa guna menjalankan tugas-tugas ini, hanya dapat bergerak langsung ke tugas-tugas sosialis, dan maka dari itu menghubungkan revolusi borjuis demokratik dengan revolusi sosialis.
Ketika kita berbicara mengenai kelas buruh, maksud kita adalah kelas sosial pekerja-upahan. Ini berbeda dengan kaum miskin kota, sebuah kelompok sosial yang tidak stabil dan heterogen, yang rentan terhadap ledakan-ledakan sosial tetapi tidak mampu menjadi kendaraan untuk pembangunan masyarakat sosialis. Hanya kelas buruh yang memiliki kualitas ini karena posisinya di dalam produksi yang memberikannya kedisiplinan kolektif, kesadaran kolektif, dan organisasi yang tidak dimiliki oleh kelas-kelas lain. Kelas buruh tidak perlu menjadi mayoritas dalam jumlah untuk bisa memiliki bobot sosial. Bahkan sebagai sebuah minoritas di masyarakat Indonesia, ia dapat dan harus memainkan peran kepemimpinan dalam perjuangan ke depan dan menjadi pengungkit revolusi sosialis. Di Rusia tahun 1917, kelas buruh secara relatif lebih kecil daripada di Indonesia dan tetap mereka bisa memainkan peran itu.
Dalam prosesnya untuk menuju tampuk kekuasaan, kelas buruh akan menemukan perlawanan dari kapitalis – domestik dan asing. Dalam perjalanan perjuangan ini, masalah kekuasaan akan dikedepankan dengan jelas di pabrik-pabrik dan di pemerintahan. Negara borjuis adalah sebuah mesin yang didesain secara khusus untuk kekuasaan kelas borjuis di atas rakyat pekerja, dan oleh karena itu rakyat pekerja supaya bisa berkuasa sejatinya tidak dapat menggunakan mesin yang sama. Oleh karena itu penghapusan negara borjuis dan pembentukan sebuah negara yang baru – sebuah negara buruh – akan menjadi agenda perjuangan. Ini adalah tugas sosialis.
Kaum borjuasi juga akan menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk melawan buruh yang ingin berkuasa. Satu-satunya cara untuk melucuti kaum borjuasi adalah dengan menyita para kapitalis besar. Selain itu, implementasi luas dari kebijakan-kebijakan pro-buruh (kemandirian serikat buruh, 8-jam kerja, upah penghidupan, pensiun, dll.) oleh negara buruh yang baru akan dihadapi dengan sabotase ekonomi (misalnya pelarian kapital) oleh kapitalis. Di sini, slogan “pabrik ditutup pabrik diokupasi” akan menjadi konkrit. Okupasi pabrik-pabrik oleh buruh, pembentukan komite-komite pabrik, dan nasionalisasi pabrik-pabrik tersebut oleh pemerintahan buruh yang baru akan menjadi agenda perjuangan. Ini adalah tugas sosialis.
Yang penting juga adalah perlunya penciptaan pekerjaan layak untuk 20 juta rakyat Indonesia yang menganggur dan 60 juta lainnya yang dipaksa bekerja di sektor informal. Tugas mendasar untuk menyediakan pekerjaan untuk semua orang memerlukan mobilisasi ekonomi yang luar biasa dari seluruh bangsa, yang tidak dapat dilakukan tanpa sebuah ekonomi terencana di bawah kontrol demokratis rakyat pekerja. Di dalam era kapital finansial dan monopoli, ekonomi terencana hanya dapat dilakukan dengan nasionalisasi bank-bank dan bisnis-bisnis besar. Ini adalah tugas sosialis.
Proletariat Indonesia adalah minoritas di antara rakyat pekerja Indonesia. Oleh karena itu buruh harus bisa membawa sektor-sektor tertindas lainnya (tani miskin, nelayan, kaum miskin kota, penganggur) ke panji mereka. Satu cara untuk melakukan ini adalah dengan secara serius merangkul perjuangan mereka dan menunjukkan bahwa solusi dari masalah-masalah mereka adalah melalui program kelas buruh. Tugas menciptakan pekerjaan untuk para penganggur dan kaum miskin kota hanya bisa dilakukan dengan ekonomi ternasionalisasi yang terencana. Reforma agraria sejati hanya bisa dilakukan dengan nasionalisasi pemilik tanah raksasa. Kredit murah hanya dapat diberikan kepada petani dan nelayan miskin bila bank-bank dinasionalisasi. Industri-industri nasional milik negara akan mampu menyediakan traktor murah, pupuk murah, dsb. kepada petani. Dalam esensinya, ini adalah realisasi konkrit dari slogan “Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera”. Untuk memenangkan sektor tertindas lainnya, buruh harus memberikan kepemimpinan yang teguh.
Maka dari itu, kita sudah melihat secara konkrit bagaimana tugas-tugas borjuis terhubung secara langsung dengan tugas-tugas sosialis. Seperti yang Lenin katakan, tidak ada “tembok Cina artifisial” yang memisahkan mereka. Laju dan cakupan dari tumbuhnya revolusi borjuis ke revolusi sosialis didikte oleh dua hal utama: pertama, tingkat kesiapan kaum proletar, dan terlebih lagi tingkat kesiapan pelopornya, kepemimpinannya; kedua, prospek revolusi sosialis di Asia Tenggara dan dunia. Indonesia dengan sendirinya tidak memiliki tingkat produksi yang cukup untuk bisa membangun sosialisme. Ia membutuhkan revolusi di negera-negara lain yang lalu bisa saling memberikan bantuan ekonomi dan teknik guna memenuhi tugas-tugas sosialis. Kita tidak bisa membangun sosialisme dengan tingkat produksi yang rendah. Seperti yang Marx katakan, “dengan kemiskinan yang umum, maka semua sampah yang lama akan bangkit kembali.” Kaum proletar Indonesia bisa membuat gebrakan yang pertama dengan mengobarkan revolusi sosialis, yang lalu akan menyebar dan membakar merah seluruh Asia Tenggara, dan bahkan dunia. Sebuah kelas buruh yang sadar akan tugas historis ini dan siap dengan program yang jelas, inilah yang perlu kita bangun.
Tugas Sekarang
Kekuatan sosialis di seluruh dunia masihlah kecil dan lemah, dan di Indonesia ini masih sangat muda. Namun kita sekarang sedang memasuki sebuah periode bergejolak yang akan membuka satu kesempatan historis untuk kita. Walaupun ada rasa urgensi untuk maju ke depan, kita harus tahu kekuatan kita (sense of proportion). Tugas kita sekarang adalah untuk menjelaskan dengan sabar. Buruh dan kaum muda yang serius yang sedang mencari alternatif revolusioner tidak akan puas hanya dengan slogan-slogan agitasi sederhana. Mereka menginginkan penjelasan-penjelasan. Mereka menginginkan sebuah ideologi yang jelas dan kuat sehingga mereka dapat melihat melalui semua kebingungan.
Orientasi kita jelas: menuju kelas buruh. Gerakan 1998 telah membuka sebuah ruang untuk gerakan buruh. Tugas selanjutnya adalah untuk mengkonsolidasikan pencapaian ini. Kaum buruh membutuhkan serikat buruhnya sendiri yang mandiri, yang bebas dari pemerintah dan juga NGO. Penguatan organisasi buruh adalah langkah selanjutnya, secara ideologis dan organisasional. 32 tahun kediktaturan Soeharto telah merampok gerakan dari tradisinya, dan ini bukan hal yang sepele. Ini masih harus diatasi.
Serikat buruh bukanlah satu-satunya organisasi yang harus dibangun oleh buruh. Kaum buruh juga membutuhkan partai politik mereka sendiri, dengan program kelas pekerja dan perspektif mengambil kekuasaan. Tingkat abstensi 40% pada pemilu 2009, sebuah peningkatan dari 20% pada pemilu 2004 dan 10% pada pemilu 1999, adalah sebuah indikasi bahwa massa semakin menyadari bahwa tidak ada yang berbeda secara fundamental di antara partai-partai politik yang ada sekarang. Boikot pemilu borjuis harus ditransformasikan menjadi gerakan untuk membentuk sebuah partai politik yang berdasarkan buruh, tani, dan kaum miskin kota. Terlebih lagi, partai ini harus dibangun berdasarkan kemandirian kelas dengan program sosialis yang jelas: nasionalisasi industri-industri utama di bawah kontrol buruh, distribusi tanah untuk petani miskin, undang-undang kelautan dan perikanan yang berpihak pada nelayan-nelayan kecil, penghapusan utang luar negeri, pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis untuk semua rakyat, pekerjaan untuk semua rakyat dengan gaji layak, pensiun yang layak untuk semua rakyat, dan hak untuk mengorganisasi serikat dan mogok.
Serikat-serikat buruh harus mengambil inisiatif dan kepemimpinan dalam membangun partai ini dan mengedepankan slogan “Partai Buruh untuk kaum Buruh”. Partai buruh ini kemudian harus merangkul kaum tani dan kaum miskin kota, tetapi tidak boleh merangkul kaum borjuis “progresif”. Partai ini tidak boleh jatuh ke dalam prasangka-prasangka borjuis kecil, tetapi harus mempertahankan kepemimpinan kelas buruh yang jelas. Hanya dengan kepemimpinan buruh maka seluruh lapisan masyarakat yang tertindas dapat dibebaskan. Ini harus diagitasikan dengan luas di dalam gerakan buruh.
Dokumen perspektif ini adalah sebuah estimasi pertama. Ia memberikan sebuah perspektif umum darimana tugas sehari-hari kita akan mengalir. Dokumen ini tidak lengkap dalam artian bahwa ia hanya memberikan kita batu loncataan pertama, dan akan semakin lengkap bilamana kita mulai bergerak maju dan menaruhnya ke dalam praktek.
Partai kita ditakdirkan untuk memainkan peran yang penting, selama kita tetap memegang teguh ide-ide kita dan tahu batas kekuatan kita setiap saat, atau memiliki sense of proportion. Periode yang mendatang akan membuka banyak kesempatan bagi kita, tetapi kita harus tetap tenang dan selalu mempertimbangkan ukuran kekuatan kita. Kita sedang berjuang untuk membangun embrio pertama dari partai kita. Kita memiliki persenjataan yang terbaik, yakni ide Marxisme, dan kita juga punya sejarah di sisi kita. Sejarah adalah milik kelas buruh untuk direbut.

Bagaimana menurut anda?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar